Kenapa Sosmed Bisa Jadi Toxic?

Mengapa Kita Sering “Ikut Balapan” di Sosmed

Kamu buka Instagram, TikTok, atau Facebook dan tiba-tiba merasa hidupmu terasa biasa saja dibandingkan orang lain: teman lama tampak liburan tiap bulan, influencer yang selalu tersenyum sambil kerja remote di pantai, pasangan yang “kebetulan” pergi makan malam romantis. Semua tampak mulus, dan tanpa sadar kita mulai membandingkan diri sendiri. Padahal, yang kita lihat hanyalah sepersekian dari kisah nyata.

Fenomena ini bukan sekadar rasa iri sesaat. Ketika standar yang muncul di media sosial menjadi acuan hidup kita, mereka mulai membentuk harapan yang sulit dicapai dan membuat kita merasa bahwa hidup harus “seperti itu”. Akibatnya, justru kita merasa tertinggal. Sebelum kita menyadarinya, media sosial bukan hanya tempat berbagi, tapi juga arena tekanan yang diam-diam menyelinap.

Bagaimana Media Sosial Membentuk Standar Gaya Hidup

Media sosial menawarkan highlight reel: momen paling fotogenik, pencapaian yang dibungkus rapi, perjalanan yang dikurasi sempurna. Ini membuat banyak pengguna merasa bahwa standar hidup yang “ideal” adalah bebas dari rutinitas biasa, selalu bahagia, selalu produktif. Namun kenyataannya banyak riset menunjukkan bahwa konten seperti ini memicu mekanisme social comparison, proses di mana kita membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Sebuah studi menyebutkan bahwa penggunaan media sosial yang tinggi berkaitan dengan orientasi perbandingan sosial yang tinggi juga, dan secara signifikan berhubungan dengan perasaan subjektif kurang baik terhadap kesejahteraan diri.

Seorang pakar, Dr. Michelle Solomon, dalam tulisannya menyebut:

“Even though we know these images are not the whole story of a person, we still unconsciously believe them to be true.”

Artinya, meskipun kita sadar bahwa feed bukan realita penuh, kita tetap terpengaruh karena kita menggali dan mempercayakan nilai tertentu berdasarkan feed.

Ketika Ikut Standar di Feed Mulai Menjadi Toxic

Riset di Indonesia turut memperkuat temuan bahwa tekanan dari standar yang dibentuk melalui media sosial dapat berdampak negatif terhadap kesejahteraan mental. Selain itu, kajian berjudul “Sisi Gelap Media Sosial: Mediasi Perbandingan Sosial pada Hubungan Fear of Missing Out dan Social Media Fatigue” menemukan bahwa perilaku perbandingan sosial menjadi mediator yang signifikan antara rasa takut ketinggalan (FOMO) dengan kelelahan media sosial. Artinya, semakin sering seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain di media sosial, semakin besar kemungkinan ia merasa lelah secara digital.

Misalnya, kita merasa harus punya rumah minimalis, pakaian “Instagram-able”, liburan tiap tahun, pencapaian karier cepat. Padahal belum tentu semuanya sesuai kondisi, nilai, dan ritme hidup kita. Tekanan untuk “ikuti standar” ini bisa membuat kita merasa gagal, stres, dan jauh dari kebahagiaan. Dalam konteks ini, media sosial berhenti menjadi alat positif dan mulai menjadi sumber kebingungan, kelelahan, dan kecemasan.

Kenali Tanda Bahwa Kamu Sedang Terjebak

Beberapa tanda bahwa kamu mungkin sudah terlalu larut dalam mengikuti standar orang lain lewat feed media sosial:

  • Kamu merasa bersalah saat tidak memperlihatkan “update” atau pencapaian di media sosial.

  • Kamu membandingkan diri secara rutin dengan orang lain di feed, lalu merasa kurang.

  • Waktu ‘istirahat’ atau waktu luang selalu habis untuk scroll sosial media dan melihat kehidupan orang lain, alih-alih untuk dirimu sendiri.

  • Kamu mulai mengukur kebahagiaan berdasarkan “jumlah like”, “komentar”, atau “followers”.

Ketika tanda-tanda ini muncul, maka sudah waktunya untuk berhenti sebentar dan mengevaluasi ulang hubunganmu dengan media sosial.

Cara Lebih Sehat Menggunakan Media Sosial dan Menolak Tekanan Standar

Berikut beberapa cara agar kamu bisa menggunakan media sosial tanpa terjebak dalam standar yang membebani:

  • Mulai dengan membatasi konsumsi media sosial: pilih waktu khusus yang kamu alokasikan untuk scroll, bukan sepanjang waktu.

  • Kurasi siapa yang kamu ikuti: pilih akun yang realistis, yang membagikan sisi baik dan juga sisi proses/kerja keras, bukan hanya hasil akhir.

  • Melatih kesadaran diri; ketika kamu merasa ingin membandingkan, tanyakan pada diri sendiri seberapa relevan standar itu dengan hidupmu.

  • Ingatkan diri bahwa setiap orang punya ritme sendiri: pencapaian, keberhasilan dan proses tidak selalu linier atau instan.

Dengan begitu, media sosial bisa kembali menjadi alat komunikasi dan inspirasi, bukan bisikan yang membuat kita merasa kurang.

Media Sosial Boleh Jadi Sahabat Asal Kita yang Mengatur Ritmenya

Media sosial tidak akan hilang dan kita juga tidak harus memutusnya sepenuhnya. Yang penting adalah bagaimana kita menempatkannya sebagai alat, bukan sebagai tolok ukur hidup. Karena mengikuti standar feed orang lain bisa saja membuat kita lupa berjalan di jalur kita sendiri. Saat kita lebih memilih ritme yang sesuai dengan nilai dan kondisi kita sendiri, hidup akan terasa lebih ringan dan lebih berarti.

Dan di tengah semua usaha menyeimbangkan hidup dengan media sosial yang kadang menekan, penting juga untuk menjaga lingkungan fisik kita agar mendukung ketenangan. Rumah yang tenang, air bersih, udara yang cukup semuanya membantu kita merasa aman dan hadir. Karena saat tubuh dan pikiran berada di ritme yang sehat, dampak buruk dari tekanan sosial media bisa kita redam lebih baik.

Previous
Previous

Kerja Remote vs Kerja Kantoran

Next
Next

Tiktok vs Facebook